Sepertinya, hampir bagi setiap orang di negara kita, sambal sudah menjadi pendamping ‘wajib’ tiap kali makan. Rasanya tidak afdhal apabila makan tanpa sambal. Apalagi kalau lalapan sudah hadir. Rupanya, lalapan dan sambal sudah menjadi pasangan serasil untuk setiap sajian.
Sebagai orang Sunda, sambal dan lalapan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam menu makan. Betapa tidak, apapun menunya, mau sop, sayur, gorengan atau yang lainnya, sambal dan lalapan wajib ada. Kalau tidak, rasanya ada yang hilang. Itulah tradisi makan yang rasanya sudah menjelma menjadi ritual. Seletih apapun ibu saya, misalnya setelah masak beraneka jenis masakan, sambal akan disiapkan. Kadang sambal ‘goang’, lebih seringnya sambal terasi.
Ternyata, kegemaran menikmati makanan ditemani sambal ini, utamanya sambal terasi, terbawa sekalipun saya berada di Amerika. Walaupun sudah mencoba lebih terbuka untuk mencoba berbagai sajian Eropa atau Amerika, tapi sambal terasi tetap menjadi idola. Paling tidak dalam angan-angan. Mengapa? Karena rupanya begitu susah menemukan sambal terasi di kota yang saya tinggali sekarang. Mungkin karena kotanya kecil. Memang jumlah penduduk di kota ini relatif sama dengan jumlah penduduk di kecamatan dari mana saya berasal.
Sebenarnya, sebelum berangkat, saya sudah melakukan ‘riset’ mengenai makanan apa saja yang ada dan tidak ada di Amerika. Saya banyak membaca blog, panduan hidup sampai forum yang membahas tentang itu. Untungnya, saya tergabung dalam milis penerima beasiswa (Fulbright). Dari situlah banyak mendapat informasi dan bertanya langsung kepada teman yang sudah lebih dulu berangkat. Sayangnya, sambal (terasi) tidak termasuk ke dalam daftar pertanyaan yang saya ajukan. Padahal yang lainnya seperti jenis nasi, kangkung, tempe tidak terlupakan.
Waktu itu, tidak terasa sudah enam bulan saya tidak merasakan nikmatnya makan sambal terasi. Kerinduan terhadap sambal terasi semakin membuncah. Namun, sambal terasi tak kunjung bisa ditemukan, sekalipun saya sudah mencari ke kota seberang. Terasi ‘jadi-jadian’ sih sebenarnya tersedia di toko Asia terdekat, tapi saya terlalu takut untuk mencoba. Khawatir tidak cocok dan akhirnya dibuang. Maklumlah namanya juga terasi abal-abal.
Akhirnya, saya dikarunia kesempatan untuk berangkat ke Washington DC untuk menghadiri Fulbright Enrichment Seminar. Saya pikir, inilah kesempatan emas untuk mencari sambal terasi. Kerinduan saya terhadap sambal terasi ini bisa membuat saya tidak begitu acuh dengan tema yang diusung dalam seminar. Dari jauh-jauh hari, rencana pencarian sudah dimatangkan. Saya mengontak teman di DC untuk membantu mencari. Alhamdulillah, dia bersedia meluangkan waktu.
Seusai konferensi saya langsung melaju ke tempat tujuan, suburb DC, kota dimana teman saya tinggal. Butuh waktu 45 menit dengan subway untuk sampai ke kota tersebut. Ya memang cukup jauh lokasinya. Tapi, rasa letih, jarak, dan waktu tidak saya indahkan. Karena yang terpenting, sambal bisa saya dapatkan. Orang sini bilang, “it’s all worth it,” apalagi mengingat besarnya peluang mendapatkan sambal terasi.
Pendek cerita, setelah bertemu teman dan bertandang ke toko Asia di kotanya, ditemukan juga sambal terasi yang sudah lama saya rindukan. Sebagian kerinduan pun langsung terpupus setelah mencium botol sambal terasi itu. Setelah sambal saya masukan tas ransel (bersama teman-temannya semisal kerupuk udang dll.), saya pun bergegas pergi menuju ke bandara, karena butuh waktu sekitar satu jam untuk tiba di sana.
Setibanya di bandara, ketika check in, saya sempat bimbang apakah harus menyimpan tas di bagasi atau membawanya ke kabin. Karena khawatir akan keselamatan botol sambal, saya pun memutuskan untuk membawanya ke kabin. Otomatis, tas ransel harus dicek dulu sebelum masuk pesawat. Petugas TSA (Transportation Security Administration) mengecek barang saya satu persatu. Pas melihat botol sambal, dia langsung bertanya, “What’s this?”. Saya jawab saja dengan jujur, “It’s a shrimp paste sauce.” Dia pun menyahut, “Sorry, Sir. This can’t go in.” Bla, bla, bla, dia menjelaskan kenapa botol-botol sambal tidak bisa masuk kabin. Dengan berat hati, saya pun membuang botol-botol itu. Karena kalau tidak, urusannya bisa gawat. Kecewa, sedih, gondok, marah, semuanya mengumpul jadi satu. Tapi apa boleh buat. Itulah aturan mereka yang mau tidak mau harus saya taati.
Dengan muka muram, karena masih ‘berduka cita’ atas raibnya botol sambal terasi, saya sampai di rumah dan menyampaikan berita ‘duka’ ini kepada istri. Istri pun terkejut, karena awalnya sudah dikabari bahwa saya sudah berhasil mendapatkan sambal terasi.
Rasanya kecewa sekali tak dapat menikmati si sambal terasi ini. Tapi memang kalau sudah rejeki, ada saja jalannya. Tanpa disangka, tanpa diduga, teman istri saya di kota lain dengan kebaikan hatinya mengirimi kami dengan sebuah paket berisikan terasi dan produk-produk Indonesia lainnya yang tidak ada di kota ini. Bisa dibayangkan bagaimana bahagianya kami melihat terasi yang sudah lama hilang dalam tradisi makanan kami. Alhamdulillah, kami bisa kembali merasakan nikmatnya sambal terasi.
Sebagai orang Sunda, sambal dan lalapan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam menu makan. Betapa tidak, apapun menunya, mau sop, sayur, gorengan atau yang lainnya, sambal dan lalapan wajib ada. Kalau tidak, rasanya ada yang hilang. Itulah tradisi makan yang rasanya sudah menjelma menjadi ritual. Seletih apapun ibu saya, misalnya setelah masak beraneka jenis masakan, sambal akan disiapkan. Kadang sambal ‘goang’, lebih seringnya sambal terasi.
Ternyata, kegemaran menikmati makanan ditemani sambal ini, utamanya sambal terasi, terbawa sekalipun saya berada di Amerika. Walaupun sudah mencoba lebih terbuka untuk mencoba berbagai sajian Eropa atau Amerika, tapi sambal terasi tetap menjadi idola. Paling tidak dalam angan-angan. Mengapa? Karena rupanya begitu susah menemukan sambal terasi di kota yang saya tinggali sekarang. Mungkin karena kotanya kecil. Memang jumlah penduduk di kota ini relatif sama dengan jumlah penduduk di kecamatan dari mana saya berasal.
Sebenarnya, sebelum berangkat, saya sudah melakukan ‘riset’ mengenai makanan apa saja yang ada dan tidak ada di Amerika. Saya banyak membaca blog, panduan hidup sampai forum yang membahas tentang itu. Untungnya, saya tergabung dalam milis penerima beasiswa (Fulbright). Dari situlah banyak mendapat informasi dan bertanya langsung kepada teman yang sudah lebih dulu berangkat. Sayangnya, sambal (terasi) tidak termasuk ke dalam daftar pertanyaan yang saya ajukan. Padahal yang lainnya seperti jenis nasi, kangkung, tempe tidak terlupakan.
Waktu itu, tidak terasa sudah enam bulan saya tidak merasakan nikmatnya makan sambal terasi. Kerinduan terhadap sambal terasi semakin membuncah. Namun, sambal terasi tak kunjung bisa ditemukan, sekalipun saya sudah mencari ke kota seberang. Terasi ‘jadi-jadian’ sih sebenarnya tersedia di toko Asia terdekat, tapi saya terlalu takut untuk mencoba. Khawatir tidak cocok dan akhirnya dibuang. Maklumlah namanya juga terasi abal-abal.
Akhirnya, saya dikarunia kesempatan untuk berangkat ke Washington DC untuk menghadiri Fulbright Enrichment Seminar. Saya pikir, inilah kesempatan emas untuk mencari sambal terasi. Kerinduan saya terhadap sambal terasi ini bisa membuat saya tidak begitu acuh dengan tema yang diusung dalam seminar. Dari jauh-jauh hari, rencana pencarian sudah dimatangkan. Saya mengontak teman di DC untuk membantu mencari. Alhamdulillah, dia bersedia meluangkan waktu.
Seusai konferensi saya langsung melaju ke tempat tujuan, suburb DC, kota dimana teman saya tinggal. Butuh waktu 45 menit dengan subway untuk sampai ke kota tersebut. Ya memang cukup jauh lokasinya. Tapi, rasa letih, jarak, dan waktu tidak saya indahkan. Karena yang terpenting, sambal bisa saya dapatkan. Orang sini bilang, “it’s all worth it,” apalagi mengingat besarnya peluang mendapatkan sambal terasi.
Pendek cerita, setelah bertemu teman dan bertandang ke toko Asia di kotanya, ditemukan juga sambal terasi yang sudah lama saya rindukan. Sebagian kerinduan pun langsung terpupus setelah mencium botol sambal terasi itu. Setelah sambal saya masukan tas ransel (bersama teman-temannya semisal kerupuk udang dll.), saya pun bergegas pergi menuju ke bandara, karena butuh waktu sekitar satu jam untuk tiba di sana.
Setibanya di bandara, ketika check in, saya sempat bimbang apakah harus menyimpan tas di bagasi atau membawanya ke kabin. Karena khawatir akan keselamatan botol sambal, saya pun memutuskan untuk membawanya ke kabin. Otomatis, tas ransel harus dicek dulu sebelum masuk pesawat. Petugas TSA (Transportation Security Administration) mengecek barang saya satu persatu. Pas melihat botol sambal, dia langsung bertanya, “What’s this?”. Saya jawab saja dengan jujur, “It’s a shrimp paste sauce.” Dia pun menyahut, “Sorry, Sir. This can’t go in.” Bla, bla, bla, dia menjelaskan kenapa botol-botol sambal tidak bisa masuk kabin. Dengan berat hati, saya pun membuang botol-botol itu. Karena kalau tidak, urusannya bisa gawat. Kecewa, sedih, gondok, marah, semuanya mengumpul jadi satu. Tapi apa boleh buat. Itulah aturan mereka yang mau tidak mau harus saya taati.
Dengan muka muram, karena masih ‘berduka cita’ atas raibnya botol sambal terasi, saya sampai di rumah dan menyampaikan berita ‘duka’ ini kepada istri. Istri pun terkejut, karena awalnya sudah dikabari bahwa saya sudah berhasil mendapatkan sambal terasi.
Rasanya kecewa sekali tak dapat menikmati si sambal terasi ini. Tapi memang kalau sudah rejeki, ada saja jalannya. Tanpa disangka, tanpa diduga, teman istri saya di kota lain dengan kebaikan hatinya mengirimi kami dengan sebuah paket berisikan terasi dan produk-produk Indonesia lainnya yang tidak ada di kota ini. Bisa dibayangkan bagaimana bahagianya kami melihat terasi yang sudah lama hilang dalam tradisi makanan kami. Alhamdulillah, kami bisa kembali merasakan nikmatnya sambal terasi.
kaskus>>
0 komentar:
Post a Comment